Sejarah Lahirnya Supersemar: Surat Yang Mengawali Pergantian Kekuasaan di Indonesia

Sejarah Lahirnya Supersemar: Surat Yang Mengawali Pergantian Kekuasaan di Indonesia
Surat Perintah Sebelas Maret ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. (Gambar: Tirto.id)


56 tahun lalu, Surat Perintah Sebelas Maret ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.


Surat itu berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.


Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.


Menurut versi resmi, awal keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama Kabinet 100 Menteri.


Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden ataymu Tjakrabirawa melaporkan, bahwa banyak "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.


Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.


Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S itu. Mayjend Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.


Mayjen Soeharto lantas mengutus tiga perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor.


Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret, yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.


Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, yang saat itu menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam.


Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.


Soeharto mengubah komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan setahun kemudian, pada Maret 1967, MPRS memilih untuk mencabut kekuasaan Sukarno dan menunjuk penjabat presiden Suharto.


Pada tahun 1968 MPRS menghapus kata 'penjabat' dan lebih dari dua tahun setelah peristiwa September 1965 Soeharto menjadi presiden Indonesia. Proses pengalihan kursi kepresidenan dari Sukarno ke Soeharto memakan waktu selama dua tahun. Suharto tetap berkuasa sebagai presiden sampai dia mengundurkan diri selama krisis politik di Indonesia pada Mei 1998.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel